Indonesia Emas 2045 atau Indonesia Cemas?
Tahun 2045 akan menjadi momen penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Di tahun itu, Indonesia akan genap berusia 100 tahun. Pemerintah dan berbagai pihak menyebutnya sebagai momen menuju Indonesia Emas 2045—sebuah visi besar di mana Indonesia menjadi negara maju, sejahtera, dan berdaya saing tinggi. Namun di balik semangat itu, muncul satu pertanyaan penting: apakah kita benar-benar siap? Atau justru menuju ke arah Indonesia Cemas?
Bonus Demografi: Peluang atau Ancaman?
Salah satu hal yang membuat 2045 begitu spesial adalah hadirnya bonus demografi. Ini adalah kondisi ketika jumlah penduduk usia produktif (khususnya anak muda) jauh lebih besar dibanding penduduk usia tidak produktif. Jika dikelola dengan baik, bonus demografi bisa menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dan inovasi.
Pemerintah pun telah melakukan berbagai persiapan, terutama di sektor pendidikan. Namun sayangnya, jika kita melihat media sosial seperti TikTok, Instagram, atau X (Twitter), tak jarang kita menemukan konten viral tentang pelajar SMP atau SMA yang tidak bisa membaca atau menyelesaikan soal matematika dasar.
Tentu ini menjadi tanda tanya besar: mengapa di usia sekolah menengah, masih ada siswa yang belum menguasai kemampuan dasar seperti membaca dan berhitung? Bukankah kemampuan ini seharusnya sudah dikuasai sejak SD?
Masalahnya Bukan Sekadar Konten
Sebagian orang mungkin menganggap itu hanya sekadar konten hiburan atau kejadian yang hanya terjadi di satu daerah. Namun jika fenomena ini terus muncul dari berbagai wilayah, maka kita patut bertanya lebih dalam.
Data juga memperkuat kekhawatiran ini. Hasil survei PISA 2022 (Program for International Student Assessment) menunjukkan skor rata-rata pelajar Indonesia hanya 1.110 poin, jauh tertinggal dari Malaysia yang mencetak 1.232 poin. Bahkan, sebuah penelitian menyebutkan bahwa kemampuan membaca lulusan sarjana di Jakarta masih kalah dengan siswa SMP di Denmark.
Kasus nyata lainnya datang dari Buleleng, Bali, di mana ratusan siswa SMP diketahui tidak bisa membaca atau menulis. Ini bukan lagi masalah individu, melainkan masalah sistemik.
Salah Posisi, Salah Fokus
Salah satu akar masalah pendidikan kita adalah kebiasaan meniru standar luar negeri tanpa memperhatikan kesiapan siswa di dalam negeri. Kita sering mendengar kebijakan pendidikan Indonesia yang ingin meniru Finlandia, Jepang, atau Singapura.
Contohnya:
-
Di Finlandia tidak ada Ujian Nasional, maka kita ikut-ikutan menghapusnya.
-
Di Jepang anak-anak belajar dengan bebas, maka kita juga ingin menerapkan hal yang sama.
Padahal kita lupa bahwa siswa-siswa di negara-negara tersebut sudah memiliki pondasi pendidikan yang kuat. Mereka berada di level 5, sementara mayoritas siswa Indonesia masih berada di level 1, yang artinya baru mampu mengenali, meniru, atau membaca dasar.
Ibarat membangun rumah, kita tak bisa langsung memasang atap dan jendela jika pondasinya belum dibangun.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Langkah pertama yang harus diambil adalah menyadari posisi kita saat ini. Jika siswa kita masih berada di level 1, maka fokus kita harus pada memperkuat pondasi tersebut, bukan langsung melompat ke kurikulum level tinggi yang tidak sesuai.
Proses ini mungkin akan membutuhkan waktu—3 hingga 5 tahun atau lebih. Namun ini jauh lebih baik daripada memaksakan sistem yang justru membebani siswa dan guru, tanpa hasil yang berarti.
Dengan membangun pondasi pendidikan yang kuat dari awal, konten viral tentang pelajar yang tidak bisa menghitung 3 × 7 atau membaca kalimat sederhana tidak akan lagi menjadi realita sehari-hari.
Negara-negara seperti China dan India telah membuktikan bahwa dengan memanfaatkan bonus demografi melalui pendidikan, mereka mampu menjadi kekuatan besar di dunia. Indonesia pun bisa, asal kita serius.
Guru dan Teknologi: Pilar Penting Indonesia Emas
Untuk menciptakan sistem pendidikan yang kuat, kita membutuhkan guru yang kompeten dan teknologi pendidikan yang mumpuni.
Guru tidak hanya harus bisa mengajar, tapi juga memahami materi yang diajarkan. Selain itu, pembelajaran daring kini menjadi solusi yang efektif, apalagi dengan banyaknya platform yang menghadirkan pengajar-pengajar terbaik.
Namun, semua itu harus didukung oleh pemerintah melalui:
-
Penyediaan fasilitas yang merata, tidak hanya di Jawa.
-
Kemauan politik untuk membangun pendidikan tanpa ego sektoral.
-
Konsistensi kebijakan, tidak berganti-ganti setiap ada pergantian menteri.
Bayangkan jika semua guru kompeten, materi aplikatif, dan teknologi pembelajaran merata. Bukan tidak mungkin siswa Indonesia bisa mencapai level 5, bahkan lebih.
Evaluasi yang Jelas dan Berkeadilan
Langkah terakhir adalah memperbaiki sistem evaluasi. Bukan sekadar menghidupkan kembali Ujian Nasional, tapi menciptakan evaluasi yang adil dan transparan.
Contohnya:
-
Kriteria kenaikan kelas harus didasarkan pada pencapaian yang nyata.
-
Ukuran kompetensi dari SD hingga SMA harus jelas dan seragam.
-
Evaluasi sekolah bukan hanya dari nilai ujian, tapi dari kemajuan murid.
Jika ada sekolah di pelosok yang berhasil meningkatkan kemampuan muridnya secara signifikan, sekolah tersebut layak mendapat insentif. Bukan hanya sekolah elit yang siswanya sudah pintar sejak awal.
Indonesia Butuh Bangsa yang Sadar
Pada akhirnya, membahas pendidikan bukan soal menyudutkan siapa-siapa. Tapi menyadarkan bahwa kita sebagai bangsa Indonesia, bukan sekadar negara, memiliki tanggung jawab membangun pondasi untuk masa depan.
Jangan lagi kita terhibur dengan konten siswa yang tidak bisa menghitung atau membaca. Mari kita wujudkan generasi Indonesia yang bukan hanya hebat di konten viral, tapi juga hebat di dunia nyata.
Indonesia Emas 2045 bukan mustahil, tapi hanya bisa dicapai jika kita bergerak dari sekarang.
Post a Comment